Selasa, 29 Maret 2016

ORIENTASI BARU DALAM PSIKOLOGI BELAJAR ( LILY BARLIA, M, Sc. Ed. Phd



ORIENTASI BARU DALAM PSIKOLOGI BELAJAR

Oleh :
Guruvalah

*) Guruvalah adalah seorang pedagang telur keliling yang tertarik pada dunia pendidikan



Analisa komperehensif untuk   “Orientasi Baru Dalam Psikologi Belajar”   ini menyangkut topik : (1) Teori belajar menurut paham behaviorism, Cognitivism, Constructivism, dan Social Learning Theory; (2) Thinking skills; (3) Motivation; (5) Memory and forgetting; (6) Learner Autonomy; dan (7) Cooperative Learning.

A. Teori Belajar
Pemahaman guru akan pengertian dan makna belajar akan mempengaruhi tindakannya dalam membimbing siswa untuk belajar. Guru yang hanya memahami belajar hanya agar murid bisa menghafal tentu beda cara mengajarnya dengan guru yang memahami belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku.Untuk itu guru penting memahami pengertian belajar dan teori-teori belajar . Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu beriteraksi dengan lingkungannya. W.H. Burton mendefinisikan belajar : Learning is a change in the individual due to instruction of that individual and his environment, which fells a need and makes him more capable of dealing adequately with his environment1. Dari pengertian tersebut ada kata change maksudnya bahwa seseorang yang telah mengalami proses belajar akan menhalami perubahan tingkah laku baik dalam kebiasaan (habit), kecakapan-kecakapan (skills) atau dalam tiga aspek yaitu pengetahuan (kognitif), sikap (affektif), dan ketrampilan (psikomotor). Sedang Ernest R. Hilgard dalam B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu  mengemukakan Belajar adalah suatu proses   perubahan kegiatan karena reaksi terhadap lingkungan, perubahan tersebut tidak dapt  disebut  belajar  apabila  disebabkan  oleh  pertumbuhan  atau kedaan sementara seseorang seperti kelelahan atau disebabkan obat- obatan”.2  Teori belajar pada umumnya dibagi menjadi 4   golongan, dengan mempelajari   teori ini guru dapat memahami dasar proses belajar  beserta  dalil-dalilnya  sehingga  guru  dapat  memanajemen proses belajar mengajar.
  

1 W.H. Burton, The Guidances of Learning Activities, Appleton Century Crofts, New York, 1952
2 B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, Psikologi Perkembangan, Tarsito, Bandung. 1981


1. Behaviourisme
Tokoh utama aliran ini adalah J.B. Watson. Watson membaca karya Pavlov   dia   merasa   mendapatkan   model   yang   cocok   untuk pendiriannya, untuk menjelaskan tingkah laku manusia.
* Classical conditioning (Ivan Petrovich Pavlov 1849):1936): Assosiative Learning
Teori ini dikemukkan  oleh Pavlov yang kemudian dipelopori oleh Guthric, Skinner yang berhaluan behavioris. Pavlov mengadakan eksperimen disebut Condition reflex karena yang dipelajari gerakan otot sederhana yang secara otomatis bereaksi terhadap suatu perangsang tertentu. Reflex  dapat ditimbulkan oleh perangsang yang lain yang dahulunya tidak menimbulkan reflex tadi.
Kesimpulan Pavlov: 3
Pertanda /signal dapat memainkan peranan penting alam adaptasi hewan terhadap sekitarnya. Reaksi mengeluarkan air liur pada anjing karena mengamati pertanda mula mula disebut reflek bersyarat (conditional reflex/CR). Pertanda atau signal disebut perangsang bersyarat (Conditioned Stimulus/CS). Makanan disebut perangsang tak bersyarat (Unconditioned Stimulus/US). Sedangkan keluarnya air liur karena makanan disebut refleks tak bersyarat (Unconditioned reflex/UR).
Teori ini menekankan bahwa belajar terdiri atas pembangkitan respons dengan stimulus yang pada mulanya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan (congruity) stimulus dengan respos, stimulus  yang  tidak  memadai  untuk  menimbulkan  respons  tadi akhirnya mampu menimbulkan resposns.4
Implikasi teori belajar ini dalam pendidikan adalah :5
1. Tingkah  laku  guru  mengharapkan  murid  menghafal  secara mekanis/otomatis
2.  Verbalitis karena tingkah laku mechanistis dan reflektif.
3. Guru tersebut membiasakan muridnya dengan latihan
4. Sekolah D (duduk), tidak ada inisiatif karena perasaan, pikiran tak mengarahkan tingkah laku
5. Guru hanya memberi tugas tanpa disadari oleh muridnya
6. Guru tidak memperhatikan individual differences
7. Guru   menggunakan   learning   by   parts   sampai   tak   ada hubungan
8. Guru menyuapi murid saja dan murid menerima yang diolah guru, jadi guru aktif.

3 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawali Pers, Jakarta, 1987
4 Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Jakarta, 2000
5 B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, op cit, halaman 194


Hal ini terjadi karena (menurut teori belajar contioning) :
a. Terbentuknya  tingkah  laku  sangat  sederhana  dan  mekanistis reflektif
b. Peranan    perasaan,    kemauan,    pikiran,    kepribadian    tak mengarahkan tingkah laku. Jadi manusia saja
c. Tak sanggup menganalisa tingkah laku yang kompleks dimana tenaga rohani sebagai pendorong.
d. Terbentuknya tingkah laku karena habis formation.

Assosiative Learning6
Pada hakikatnya perkembangan adalah proses asosiasi bagi para ahli aliran ini yang primer adalah bagian-bagian ada lebih dulu sedangkan keseluruhan ada lebih kemudian. Bagian itu terikat satu sama lain  menjadi suatu keseluruhan oleh asosiasi.
Salah   satu   tokoh   aliran   asosisasi   adalah   John   Locke.   Locke berpendapat bahwa pada permulaannya jiwa anak itu adalah bersih semisal selembar kertas putih. yang kemudian sedikit demi sedikit terisi    oleh   pengalaman      atau   empiris.   Dalam   hal   ini   Locke membedakan adanya dua macam pengalaman , yaitu:
1. Pengalaman luar, yaitu pengalaman yang diperoleh dengan melalui panca indera yang menimbulkan sensation
2. Pengalaman dalam, yaitu pengalaman mengenai keadaan dan kegiatan batin sendiri yang menimbulkan reflexions”. Kesan “sensation dan reflexions merupakan pengertian yang sederhana (simple ideas)   Yang kemudian dengan asosiasi membentuk pengertian yang kompleks (Complex ideas).
Aliran asosiasi ini meninggalkan sejarah , tetapi dalam lapangan pendidikan   masih   ada   yang   menjalankan,   misalnya   mengajar membaca dan menulis secara sintetis, metode menggambar secara sintetis.
Praktik belajar seperti dalam teori ini masih digunakan terutama ditingkat pendidikan dasar dan sekolah agama   atau di pesantren- pesantren. Murid diberi drill, praktik, pengulangan dan kejadian- kejadian sesuai teori ini. Belajar asosiasi dimana urutan-urutan kata- kata tertentu berhubungan sedemikian rupa terhadap obyek-obyek, konsep-konsep, atau situasi sehingga bila kita menyebut yang satu cenderung menyebut yang lain. Misalnya ayah berasosiasi dengan Ibu, kursi  dengan  meja.  Jika  digunakan  untuk  model  pembelajaran
sekarang masih relevan   tentu dengan paradigma baru misalnya menerangkan dengan mode, gambar dan demostrasi.

* The Law Of Effect (Edward L.Thorndike;1874-1949) : S-R Theory

 6 Sumadi Suryabrata, op. cit, halaman 172


Thorndike berpendapat , bahwa yang menjadi dasar belajar ialah asosiasi antara kesan panca indra (sense impression) dengan impulse untuk bertindak (impulse to action).
Bentuk belajar oleh Thorndike disifatkan dengan Trial and Error learning” atau “learning by selecting and connecting” . Belajar berlangsung 3 hukum  (1) law of readiness; (2) law of exercise; (3) law of effect
Law of effect ini menunjukkan kepada makin kuat atau makin lemahnya hubungan sebagai akibat daripada hasil respon yang dilakukan . Apabila suatu hubungan atau koneksi disebut dan ditandai atau  diikuti  oleh  keadaan  yang  memuaskan  ,  maka  kekuatan hubungan  itu  akan  bertambah,  sebaliknya  apabila  suatu  koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan  hubungan itu akan berkurang.7 Dalam Law of effect, segala  tingkah  laku  yang  mengakibatkan  keadaan  yang menyenangkan akan diingat. Dan tingkah laku yang menyenangkan mudah untuk dipelajari begitu pula sebaliknya.
Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus  dan  respons.  Itulah  sebabnya  teori  ini  disebut  SR  Bond Theory atau  S-R Psycology of Learning” atau S-R Theory disebut juga teori “Trial and Error Learning
Berdasarkan teori belajar tersebut , maka implikasinya bagi dalam pendidikan sebagai berikut :8
1. Tak memperhatikan individual differences.
2. Kadang-kadang  lupa  akan  tujuan  pokok,  karena  terlalu memperhatikan alat (reward)
3. Biasanya  yang  berhasil adalah murid yang struggle untuk menerima hadiah (reward)

Hal ini didasarkan pada pendapat teori diatas :
1. Manusia   belajar   karena   kepuasan   untuk   memperoleh ganjaran
2. Tingkah laku terbentuk karena hasil trial & error dan law of effect
3. Yang dilakukan seseorang disebabkan kesenangan sehingga berlangsung secara otomatis conditioning.

Praktik belajar seperti cocok digunakan untuk memotivasi siswa dengan pemberian hadiah/ganjaran/reward. Namun penggunaannya hanya saat-saat tertentu dan dalam keadaan yang memungkinkan. Sebab  jika  dilakukan terus menerus siswa cenderung mau belajar



7 Sumadi Suryabrata, Op Cit, halaman 271
8 B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, halaman 197


karena akan memperoleh reward, lalu kalau reward ditiadakan siswa apakah  masih  mau  belajar.  Segala  yang  menyenangkan    (law  of effect) akan diingat oleh siswa dan akan mudah dipelajari oleh siswa, maka berdasarkan teori ini guru harus mampu menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan. Guru harus mampu membuat pelajaran matematika yang menyeramkan menjadi yang menyenangkan.

*Operant conditioning (Baron. F. Skinnner; 1904 –1990) : Reward & Punishment (Positive and Negative reinforcement)

Sebagaimana tokoh behavour lainnya, Skinner juga memikirkan tingkah  laku  sebagai  hubungan  antara  perangsang  dan  response, hanya saja   Skinner membedakan dua macam response : (1) responden response (reflextive response), yaitu respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu, Perangsang demikian disebut eliciting stimuli, menimbulkan respose yang relatif sama; dan (2) Operant response (instrumental response) yaitu response yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang- perangsang tertentu. Perangsang demikian disebut reinforcing stimuli atau reinforcer karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat response yang telah dilakukan oleh organisme.
Implikasi dalam dunia pendidikan dari teori ini :
1. Anak yang telah belajar akan menjadi giat belajar jika mendapat hadiah
2. Hadiah yang diberikan kepada siswa tidak harus berupa barang
3. Inovasi Pengajaran sebagian besar disusun berdasarkan teori Skinner, yaitu memberikan dasar teknologi pendidikan yang banyak      digunakan  di  Indonesia  seperti  PPSI,  modul  dan pengajaran tuntas.
Teori ini   belajar ini cocok untuk pendidikan modern dengan menggunakan inovasi-inovasi baru misalnya belajar model konferensi dengan   bantuan   komputer   yang   saling   berhubungan   (internet) sehingga dapat meningkatkan Operan response siswa menjadi lebih intensif/kuat. Teori ini masih berkembang di Amerika, tentu saja untuk Indonesia juga masih sangat cocok.

2. Cognitivism
Pandangan tentang teori belajar ini meliputi kemampuan atau mengatur kembali dari    susunan pengetahuan melalui proses kemanusiaan  dan  penyimpanan  informasi.  Pendapat  Jean  Piaget


mengenai  perkembangan  proses  belajar  pada  anak-anak  adalah sebagai berikut :9
1. Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, mereka mempunyai cara yang khas   untuk menyatakan kenyataan    dan  untuk  menghayati  dunia  sekitarnya.  Maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam belajar.
2. Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu
menurut suatu urutan yang sama bagi semua orang.
3. Walaupun   berlangsungnya   tahap-tahap   perkembangan   itu melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak.
4. Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu :
a. kemasakan b. pengalaman
c. interaksi social
d. equilibration  (proses  dari ketiga  faktor  diatas  bersama- sama     untuk   membangun   dan   memperbaiki   struktur mental)

Piaget membagi 4 tingkat perkembangan kemampuan otak untuk berpikir mengembangkan pengetahuan (cognitif) :
1. Sensor motor (umur 2 tahun)
2. Pre Oprasional (umur 2-7 tahun)
3. Konkret Oprasional (umur 7-11 tahun)
4. Format Oprasional (umur 11 tahun ke atas)
Skema sensor adalah prilaku terbuka yang bersifat jasmaniah yang tersusun secara sistematis dalam diri bayi/anak yang merespon lingkungan. Sedangkan skema kognitif adalah tatanan tingkah laku untuk memahami dan menyimpulkan lingkungan yang direspon.
Ada   dua   macam   kecakapan   kognitif   siswa   yang   amat   perlu dikembangkan segera, khususnya oleh guru, yakni :
1. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran
2. Strategi   meyakini   arti   penting   isi   materi   pelajaran   dan aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran
Teori Piaget ini beberapa hal dapat dibenarkan. Namun juga ada perkecualian bahwa ada anak pada level usia sama tapi kognisinya berbeda. Pada usia 7 – 11 anak-anak sudak bisa menggunakan logika, siswa mudah belajar jika konsep pelajaran konkrit, jangan abstrak. Misalnya menghitung dengan bantuan jari-jari tangan. Tapi sayang di


9 Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Rineka Cipta, Jakarta, 1995


Indonesia untuk pendidikan setingkat Sekolah Dasar, siswa diarahkan pada belajar abstrak. Akibatnya pelajaran tidak membekas di memori anak, justru saat ini sedang trend diluar jam pelajaran anak-anak kursus matematika dengan bantuan sempoa. Peralatan ini akan memudahkan anak belajar, dan hasil pelajaran akan tersimpan lama dalam memori anak. Rupanya ada kesenjangan dalam belajar antara dunia SD dengan dunia kursus, padahal untuk setingkat SD belajar konkrit sangat bagus untuk perkembangan kognisi siswa. Untuk itu para praktisi pendidikan perlu juga menyimak model belajar  Dr. Maria Montessari   yang   menggunakan   metode   belajar   konkrit   dengan bantuan alat-alat belajar.

3. Constructivism
Teori belajar Kontstruksi    merupakan teori-teori yang menyatakan bahwa siswa itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan   dan   menerapkan   informasi   kompleks,   mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi.
Konstruktivisme lahir dari gagasan Jean Piaget dan Vigotsky dimana  keduanya  menekankan  bahwa  perubahan  kognitif  hanya terjadi  jika  konsepsi-konsepsi  yang  telah  dipahami  diolah  melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi- informasi baru.
Hakikat dari teori konstruktivism adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri. Teori ini memandang siswa secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan- aturan tersebut.
Salah satu prinsip paling penting adalah guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa, siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri., guru hanya membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa dengan memberikan kesimpulan kepada siswa untuk menerapkan sendiri ide-ide dan  mengajak siswa agar siswa menyadari dan secara sadar menggali strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
Pendekatan  konstruktivism  dalama  pengajaran  lebih menekankan pada pengajaran Top-Down daripada Bottom-Up. Top- Down berarti siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) keterampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan.
Constructivism dibagi tiga yaitu Zone of Proximal Development; Cognitive Apprenticeship;Scaffolding


1. Zone  of  Proximal  Development  atau  zona  perkembangan terdekat adalah ide bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka.
2. Cognitive Apprenticeship, konsep lain yang diturunkan dari teori Vygotsky menekankan pada dua-duanya hakikat sosial dari belajar dan zona perkembangan terdekat adalah pemagangan kognitif .
3. Scaffolding  atau  mediated  learning,  akhirnya  teori  Vygotsky menekankan  bahwa scaffolding atau mediated learning atau dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah        sebagai   suatu   hal   penting   dalam   pemikiran konstruktivism modern.

Prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang sering diambil dari  konstruktivisme  antara  lain  :  (1)  pengetahuan  dibangun  oleh siswa secara aktif; (2) tekanan proses belajar mengajar terletak pada siswa; (3) mengajar adalah membantu siswa belajar; (4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar; (5) kurikulum menekankan pada partisipasi siswa; (6) guru adalah fasilitator.10  Penulis menyarankan agar konstruktivisme ini digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar bentuk yang bisa dilakukan diantaranya konsep pembelajar mandiri (learner utonomy ), belajar kelompok (cooperative learning).Guru hanya sebagai mediator, selanjutnya siswa secara sendiri-sendiri maupun kelompok aktiv untu memecahkan persoalan yang diberikan guru sehingga mereka dapat membangun pengetahuan.

4. Social Learning
Teori Belajar Sosial disebut Teori Observational Learning (Belajar Observasional  dengan pengamatan ).  Tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S R Bond), melainkan juga  akibat  reaksi  yang  timbul  sebagai  hasil  interaksi  antara lingkungan dengan skema kognitip manusia itu sendiri.
Prinsip Dasar Social learning :
1.  Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui:
peniruan (imitation), penyajian contoh perilaku (modeling).
2.  Dalam hal ini, seorang siswa belajar mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang/ sekelompok orang mereaksi / merespon sebuah stimulus tertentu.


10 Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, 1997


3.  Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya
: guru / orang tuanya.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosal dan moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan).
Prosedur-prosedur Social learning :
1 . Conditioning :  prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku social dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan  perilaku-perilaku  lainnya,  yakni  dengan  ; Reward (ganjaran / memberi hadiah/ mengganjar), Punishment (hukuman / memberi hukuman).
1. Dasar pemikirannya : Sekali seorang siswa mempelajari perbedaan      antara   perilaku-perilaku   yang   menghasilkan ganjaran       (reward)      dengan      perilaku-perilaku      yang mengakibatkan hukuman (punishment), ia senantiasa berpikir dan memutuskan perilaku social mana yang perlu ia perbuat.
2.  Komentar orang tua / guru : ketika mengganjar/menghukum siswa           merupakan   faktor   yang   penting   untuk   proses penghayatan           siswa   tersebut   terhadap   moral   standards (patokan-patokan moral ).
3.  Orang tua dan guru   diharapkan memberi penjelasan agar siswa  tersebut  benar-benar  paham  mengenai jenis perilaku
mana yang menghasilkan ganjaran dan jenis perilaku mana yang menimbulkan sangsi.
4.  Reaksi-reaksi seorang siswa terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari adanya pembiasaan merespons sesuai dengan kebutuhan.
5. Melalui proses pembiasaan merespons (conditioning) ini, menemukan                    pemahaman   bahwa   ia   dapat   menghindari hukuman dengan memohon maaf yang sebaik-baiknya agar kelak terhindar dari sanksi.

2.  Imitation (peniruan).

Dalam hal ini, orang tua dan guru seyogyanya memainkan peran penting sebagai seorang model / tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa. Contoh : Mula-mula seorang siswa mengamati model gurunya sendiri yang sedang melakukan sebuah sosial, umpamanya menerima tamu, lalu perbuatan menjawab salam, berjabat tangan, beramah-tamah, dan seterusnya yang dilakukan model itu diserap oleh memori siswa tersebut. Diharapkan, cepat/lambat siswa tersebut mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan social yang dicontohkan oleh model itu.


Kualitas  kemampuan  siswa  dalam  melakukan  perilaku  social hasil pengamatan terhadap model tersebut, antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi. Selain itu, tingkat kualitas imitasi tersebut juga bergantung pada persepsi siswa siapa yang menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan berwibawa seorang model, semakin tinggi pula kualitas imitasi perilaku social dan moral siswa tersebut.
Jadi dalam Social Learning, anak belajar karena contoh lingkungan. Interaksi antara anak dengan lingkungan akan menimbulkan pengalaman baru bagi anak-anak. Sebagai contoh hasil belajar ini adalah keagresifan anak bukan tidak mungkin disebabkan oleh tayangan kekerasan dalam film-film laga di Televisi. Anak-anak SLTP, SLTA cara memakai baju yang ketat, tidak rapi, gaya bicara yang   prokem   ternyata   akibat   nonton   tayangan   televisi   yang menyajikan  sinetron  remaja  seperti  “Perkawinan  Dini”.  Anak-anak yang konsumerisme/suka jajan ternyata pengaruh lingkungan yang memberikan contoh konsumerisme. Maka disini perlu peran dari orang tua, dan guru sebagai panutan bagi anak. Agar kedua tokoh ini dapat memberikan bantuan penyelesaian masalah anak-anak dengan baik.

2. Thinking Skills
Ketrampilan berpikir (Thinking skills) diarahkan uintuk memecahkan masalah, dapat dilukiskan sebagai upaya mengekplorasi model-model tugas pelajaran di sekolah agar model-model itu menjadi lebih baik dan memuaskan. Model itu kadang-kadang mendorong para pemikir untuk berpikir lebih jauh berdasarkan informasi perceptual yang mantap yang diperoleh dari lingkungannya, dan mampu mengantisipasi hasil-hasilnya tanpa melalui perlakuan mencoba salah (trial and error).11Ketrampilan berpikir telah menjadi ungkapan yang bersifat umum, mencakup proses belajar dan memecahkan masalah.
Ada 3 klasifikasi dari ketrampilan berpikir (Sternberg,1989) : Ketrampilan  berpikir  Kritis  yang  terdir  (a)  menganalisa;  (b)
tinjauan/kupasan;    (c)    menilai;    (d)    mempertimbangkan;    (e)
membandingkan dan membedakan; (f) menaksir
1. Ketrampilan Berpikir praktis yang terdiri : (a) penerapan; (b)
penggunaan dan memanfaatkan; (c) latihan, praktik
2. Ketrampilan  berpikir  kreatif  yang  terdiri : (a)  membuat;  (b) menemukan; (c) merekayasa; (d) membayangkan; (e) mengira; (f) menduga





11 Cece Wijaya, Pengajaran Remedial, Rosda Karya, Bandung, 2001


Problim Solving
Problim solving merupakan ketrampilan    berpikir untuk memecahkan masalah yang pelik. Metode yang digunakan adalah menggunakan metode ilmiah berarti berpikir yang sistematik, logis, teratur dan teliti.
Cara Ilmiah untuk memcahkan masalah dengan langkah-langkah: 12
1. Memahami masalah atau problema
2. Mengumpulkan keterangan atau data
3. Merumuskan  hypotesa  atau  jawaban  yang  mengkin  memberi penyelesaian
4. Menilai suatu hypotesa
5. Men-test atau mengadakan eksperimen
6. Membentuk kesimpulan

Ketrampilan berpikir belum dikembangkan di Indonesia, terutama di sekolah-sekolah, padahal ketrampilan ini besar manfaatnya dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari di rumah, di sekolah, di kantor dan dimasyarakat. Rendahnya mutu pendidikan baik di tingkat dasar, menengah maupun tinggi salah satunya belum dikembangkan ketrampilan berpikir. Untuk itu upaya untuk pengembangan SDM hendaknya dimulai di sekolah dengan cara mengembangkan ketrampilan berpikir. Siswa sejak dini diajari problem solving dengan cara berpikir ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah. Guru dan dosen sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan hendaknya mempunyai ketrampilan berpikir ini, agar dapat mengajarkan kepada pelajar/mahapelajar mempunyai ketrampilan berpikir.

3. Motivation
Motivasi adalah suatu kondisi yang menyebebkan atau menimbulkan perilaku tertentu, dan memberi arah dan ketahanan (persistence) pada tingkah laku tersebut (Wlodkowski:1985)
Berdasar rumusan di atas motif merupakan faktor dinamis, penyebab seseorang melakukan perbuatan. Suatu perbuatan dapat ditimbulkan oleh sesuatu motif.  Namun juga bisa disebabkan oleh beberapa motif. Dalam belajar, motivasi punya peranan yang penting. Siswa tidak akan belajar dalam arti yang sebenarnya kalau tidak ada motif.
Motivasi belajar siswa dibagi 2 yaitu : (1) motivasi intrinsik : adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu; (2) motivasi ekstrinsik : adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.13



12 Nasution, Didaktik Metodik, Bina Aksara, Jakarta, 1981
13 Syaiful Bakri Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, Usaha Nasional, Surabaya, 1994


Penulis dalam melakukan penelitian tentang “Hubungan motivasi Dengan Prestasi Belajar siswa SMK Negeri 1 Samarinda, Tahun 1999” dapat menyimpulkan bahwa :
1. Korelasi motivasi belajar dengan prestasi belajar siswa (r=0,62)
2. Interpretasi r= 0,62 yaitu : tingkat hubungan adalah “kuat”
3. Sumbangan relatif motivasi terhadap prestasi belajar (r2=0,39 atau 39%), sedang sisanya 61% dipengaruhi oleh faktor lain.
4. Pada angket motivasi dibagi dua yaitu motivasi intrinsik dan
motivasi  ekstrinsik,  ternyata  motivasi  intrinsik  lebih  dominan daripada motivasi ekstrinsik, dengan perbandingan 6:4.
5. Di SMK Negeri 1 ada kelas unggulan dan kelas biasa, ternyata kelas unggulan motivasinya lebih tinggi daripada kelas biasa. Sebagai  guru  sulit  rasanya  untuk  meningkatkan  intelegensia
pelajar maka sebagai seorang motivator,   guru hendaknya dapat membangkitkan minat belajar siswa dengan cara memotivasi siswa. Ada enam hal yang perlu dilakukan oleh guru :14
1. Membangkitkan dorongan kepada siswa untuk belajar
2. Menjelaskan  secara  konkret  kepada  siswa  apa  yang  dapat dilakukan pada akhir pengajaran
3. Memberikan ganjaran terhadap prestasi yang dicapai sehingga dapat merangsang untuk mendapat prestasi yang lebih baik dikemudian hari
4. Membetuk kebiasaan belajar yang baik
5. Membantu  kesulitan  belajar  siswa  secara  individu  maupun kelompok
6. Menggunakan metode mengajar yang bervariasi

4. Memory and Forgetting
Ingatan adalah penarikan kembali informasi yang pernah diperoleh  sebelumnya. Informasi yang pernah diperoleh sebelumnya dapat disimpan untuk : (1) beberapa saat saja; (2) beberapa waktu; (3) jangka waktu yang tidak terbatas.15
Mengingat tidak   sama dengan menghafal, seorang mahasiswa S2 mungkin hafal bahan yang diujikan, sesudah ia lulus ia tidak ingat lagi bahan itu. Jadi “ingat”   selangkah lebih maju dari   menghafal. Bagi beberapa  orang  dengan  menggunakan  “kunci”  atau  cara  tertentu dapat  memudahkan  mengingat  dan menghafalkan.  Menghafal  atau memahami  bahan  sering  digunakan  bersama-sama.  Alat  Bantu
mengingat, seperti untuk menentukan besarnya resistan pada  resistor
(komponen  elektro)  yang  dibedakan  atas  warna    yang  disingkat




14 ibid
15 Slameto, op cit


MEJIKU HIBINIU (Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, Ungu) akan lebih mudah diingat daripada tanpa disingkat.
Tehnik belajar bahasa adalah resitasi yaitu pengulangan terus menerus  sehingga  bukan  hanya  hafal  akan  suatu  hal  tapi  juga meresap dalam diri pribadi menjadi bagian hidup seseorang. Hampir
80% waktu untuk belajar bahasa pada tahap awal harus digunakan ini. Ada 3 hal yang harus dikuasai dalam belajar bahasa asing yaitu: (1) belajar  membaca  dan  menerjemahkan  dalam  bahasa  sendiri;  (2) dapat menangkap pembicaraan; (3) belajar bercakap-cakap dalam bahasa asing. Jika latihan resitasi dapat dilakukan secara teratur niscaya ketiga ketrampilan itu akan dapat dikuasainya.16
Pelajaran hafalan menurut hemat penulis masih perlu dilakukan terutama untuk tingkat SD. Untuk siswa yang telah memasuki SLTP pelajaran hafalan perlu ditinggalkan dan diganti dengan metode pemahaman. Hanya saja untuk pelajaran bahasa, terutama bahasa asing Teknik resitasi mutlak diperlukan, karena pengualangan- pengulangan terus menerus akan membuat pelajar menjadi hafal.
Kemampuan untuk mengingat yang lebih maju dari pada hafalan, ternyata masih diperlukan bagi para pembelajar dari segala tingkatan, tentu saja guru harus pandai membuat pelajaran agar melekat terus pada ingatan anak, misalnya belajar berhitung dibantu dengan sempoa, menjelaskan hal yang penting secara berulang-ulang, membuat  kata  kunci atau  dengan  alat  bantu  lainnya  untuk membantu siswa untuk mengingat sesuatu.

5. Learner Autonomy
Pembelajar mandiri (learner autonomy) adalah suatu masalah yang eksplisit atau perhatian yang serius atau sadar. Kita tidak dapat menerima tanggung jawab pembelajaran kita meskipun kita mempunyai ide apa, bagaimana, kenapa kita berusaha untuk belajar. Pembelajar harus berinisiatif   untuk memberi bentuk arahan untuk proses belajar dan harus berbagi dalam kemajuan dan evaluasi untuk mengembangkan sasaran pembelajar yang dicapai.
Otonomi secara semantik berarti kompleks, Pembelajar mandiri harus menginterpretasikan kebebasan dari kontrol guru, kebebasan dari  tekanan  kurikulum  bahkan  kebebasan  untuk  memilih  tidak belajar. Masing-masing kebebasan ini harus dihadapkan dan didiskusikan secara bijaksana, tetapi untuk kita yang terpenting adalah kebebasan belajar yang tersirat di dalam diri sendiri. Yang berarti kapasitas tersebut dibatasi dengan tujuan yang ingin dicapai.
Pembelajar mandiri secara umum adalah salah satu hasil perkembangan dan eksperimen belajar, sebagai contoh penguasaan


16 YB. Sudarmanto, Tuntunan Metodologi Belajar, Grassindo, Jakarta, 1992


bahasa Ibu berhasil hanya bila dikembangkan oleh murid sebagai pengguna bahasa tersebut, sebagai bahasa Ibu. Sama dengan belajar melalui pengalaman membantu mendefinisikan apa itu pelayanan masyarakat dalam memperkembangkan kapasitasnya sebagai tingkah laku pembelajar mandiri. Kebanyakan guru tergantung latihan-latihan pembelajar dalam jangkauan yang lebar dari kelakuan pembelajar di luar   kelas   yang   tergambar   dalam   prinsip   semua   pembelajar seharusnya mampu di dalam kelas.
Beberapa kritik diajukan terhadap pembelajar mandiri ini dengan ide-ide yang bermacam-macam, seperti bagian dari tradisi budaya barat atau pembelajar bukan barat/aneh. (Jones, 1995). Argumen ini dibantah bahwa metode ini digunakan untuk mengembangkan pengetahuan pembelajar mandiri sebagai tradisi pengajaran barat contoh budaya pendidikan Denmark, Inggris dan Irlandia. Perkembangan Pembelajar mandiri di Jepang dielaborasikan secara spesifik dengan tradisi budaya Jepang baik di dalam maupun di luar kelas, diharapkan pengalaman terhadap tantangan   dan pengayaan belajar adalah didapatkan rasa percaya diri untuk dibawa pulang dengan pengertian yang besar mengenai teori dan implikasi praktik pendidikan.17
Belajar  mandiri  membuat  para  pelajar  terbebas  dari  kelas reguler, membuat belajar sesuai dengan kemampuan pelajar, dan dapat   melayani   diri   sendiri   dalam   hal   kebutuhan   belajarnya.
Paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar                      atau  learner  menjadi  manusia  yang  diberdayakan adalah salah satu strategi bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu perlu diupayakan agar belajar mandiri ini dapat berkembang dengan mendorong para pelajar untuk belajar   dengan tekun yang datang dari keinginannya sendiri. Dengan demikian akan diperoleh generasi yang proaktif, mampu  memecahkan masalahnya sendiri dan kritis. Dengan pembelajar mandiri maka akan tercipta generasi bisa bertoleransi,   bisa   berdemokrasi,   dan   berbudi   pekerti,   serta menghargai hak-hak orang lain. Maka untuk selanjutnya kita tidak lagi menyebut siswa, student atau pupil tapi learner atau pelajar bagi anak didik kita.

6. Cooperative Learning
Belajar Kelompok (Cooperative learning) adalah sebuah strategi pengajaran yang sukses di dalam tim kecil, penggunaan sebuah variasi dari aktivitas belajar untuk memperbaiki pemahaman subyek. Setiap anggota tim tidak hanya bertanggung jawab pada belajar yang telah





diajarkan tapi juga membantu kawan belajar se-tim, jadi membuat sebuah kondisi berprestasi. 18
Ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah :19
1. Siswa   bekerja   dalam   kelompok   secara   kooperatif   untuk menuntaskan materi belajarnya
2. Kelompok  dibentuk  dari  siswa  yang  memiliki  kemampuan tinggi, sedang dan rendah
3. Bila mungkin anggota kelompok berasal dari ras budaya, suku, jenis kelami berbeda-beda
4. Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu

Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperative :20

Fase
Tingkah Laku Guru
Fase 1
Menyampaikan     tujuan     dan memotivasi siswa

Fase 2
Menyajikan informasi




Fase 3
Mengorganisasikan           siswa kedalam ke –
lompok-kelompok belajar




Fase 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar



Fase 5
Evaluasi

Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa untuk belajar

Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demostrasi atau lewat bahan bacaan




Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu agar setiap kelompok melakukan transisi secara fisien




Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka

19 Muslimin Ibrahim dkk, Pebelajaran Kooperative, Program Pasca Sarjana Unesa, University Pers, Surabaya
20 ibid




Fase 6
Memberikan penghargaan


Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang dipelajari atau masing- masing  kelompok mempresentasikan hasil kerjanya



Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok





Belajar kelompok yang terdiri 4-6 anak per kelompok sangat bagus bagi perkembangan kepribadian anak dan perkembangan sosialisasi. Pada belajar ini siswa dapat saling berinteraksi sehingga akan timbul rasa persaudaraan, siswa belajar untuk mengeluarkan pendapat, ide. Siswa akan bangga terhadap penguasaan topik tertentu dan akan memberikan presentasi kepada teman-temannya, bahkan dalam salah satu strategi belajar kelompok siswa dapat memperoleh julukan ahli misalnya ahli empedu, ahli jantung dan sebagainya dalam belajar kelompok.
Sayangnya karena kurikulum di sekolah yang padat, dan guru harus menghabiskan materi sesuai program pengajaran maka banyak guru yang tidak mau menjalankan, alasan repot, makan waktu dan memerlukan kerja keras untuk memperhatikan tiap-tiap kelompok. Biasanya guru hanya membagi kelompok pelajar untuk berdiskusi tentang suatu topik, tanpa ada bimbingan, misalnya siswa masing- masing berdiskusi, hasil diskusi ditulis di kertas, hasilnya dikumpulkan. Guru yang profesional tentu tidak akan melewatkan masa-masa tugasnya dengan menggunakan metode belajar kooperative.






DAFTAR PUSTAKA

Burton, William, The Guidances of Learning Activities, Aplleton Century
Crofts, 1952

Cece Wijaya, Pengajaran Remedial, Rosda Karya, Bandung, 2001 http://langue.hyoer.chubu.ac.jp/jalt/pub/t;t/98/nov/lttledam.html http://www.ed.gov/pubs/OR/Consumen Guides/Index.html



Nasution, Didaktik Metodik, Bina Aksara, Jakarta, 1981

Muslimin  Ibrahin  dkk,  Pembelajaran  Kooperative,  Program  Pasca
Sarjana Unesa, University Pers, Surabaya

Oemar   Hamalik,   Psikologi   Belajar   dan   Mengajar,   Sinar   Baru
Algensindo, Jakarta, 2000

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, 1997

Simanjuntak,  B  dan  Pasaribu  IL,  Psikologi  Perkembangan,  Tarsito, Bandung, 1981

Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Rineka
Cipta, Jakarta, 1995

Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawali Pers, Jakarta, 1987

Syaiful Bakri Djamarah, Prestasi Belajar Dan Kompetensi Guru, Usaha
Nasional, Surabaya, 1994

YB.  Sudamanto,  Tuntunan  Metodologi  Belajar,  Grassindo,  Jakarta,
1992