Informasi Pascasarjana TPm Kelas B 2016.1
Mencari berkah yang melimpahruah
Kamis, 15 Juni 2017
Selasa, 13 Juni 2017
Minggu, 11 Juni 2017
TUGAS P MAMAN (TIK)
Sabtu, 03 Juni 2017
Selasa, 29 Maret 2016
ORIENTASI BARU DALAM PSIKOLOGI BELAJAR ( LILY BARLIA, M, Sc. Ed. Phd
ORIENTASI BARU DALAM PSIKOLOGI BELAJAR
Oleh :
Guruvalah
*) Guruvalah adalah seorang pedagang telur keliling yang
tertarik pada dunia pendidikan
Analisa komperehensif untuk “Orientasi Baru Dalam Psikologi Belajar” ini menyangkut topik : (1) Teori belajar
menurut paham behaviorism, Cognitivism,
Constructivism, dan Social Learning Theory;
(2) Thinking skills; (3) Motivation;
(5) Memory and forgetting; (6) Learner Autonomy; dan (7) Cooperative Learning.
A. Teori Belajar

1 W.H. Burton,
The Guidances of
Learning Activities,
Appleton Century Crofts, New
York,
1952
2 B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, Psikologi
Perkembangan, Tarsito, Bandung. 1981
1. Behaviourisme
Tokoh utama aliran ini adalah J.B. Watson. Watson membaca
karya Pavlov dia merasa
mendapatkan model yang
cocok untuk pendiriannya, untuk
menjelaskan tingkah laku manusia.
* Classical conditioning (Ivan Petrovich Pavlov
1849):1936): Assosiative Learning
Teori ini dikemukkan oleh
Pavlov yang kemudian dipelopori oleh Guthric, Skinner yang berhaluan behavioris. Pavlov mengadakan
eksperimen disebut Condition reflex karena yang dipelajari gerakan
otot sederhana yang secara otomatis bereaksi terhadap
suatu perangsang tertentu.
Reflex dapat ditimbulkan oleh perangsang yang lain yang dahulunya tidak menimbulkan
reflex tadi.
Kesimpulan Pavlov: 3
Pertanda /signal
dapat memainkan peranan penting alam adaptasi hewan terhadap sekitarnya. Reaksi mengeluarkan air liur pada anjing karena mengamati pertanda mula mula
disebut reflek bersyarat
(conditional reflex/CR). Pertanda atau signal disebut perangsang bersyarat (Conditioned Stimulus/CS). Makanan disebut perangsang tak bersyarat (Unconditioned Stimulus/US). Sedangkan keluarnya air liur karena
makanan disebut refleks tak bersyarat (Unconditioned reflex/UR).
Teori ini
menekankan bahwa belajar
terdiri atas pembangkitan
respons dengan stimulus yang pada
mulanya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan (congruity) stimulus dengan respos, stimulus yang tidak
memadai untuk menimbulkan respons
tadi akhirnya mampu menimbulkan
resposns.4
Implikasi teori belajar ini dalam pendidikan adalah :5
1. Tingkah laku
guru mengharapkan murid menghafal secara mekanis/otomatis
2. Verbalitis karena tingkah laku mechanistis dan reflektif.
3. Guru tersebut
membiasakan muridnya dengan latihan
4. Sekolah D (duduk), tidak ada inisiatif karena perasaan,
pikiran tak mengarahkan
tingkah laku
5. Guru hanya memberi
tugas tanpa disadari oleh muridnya
6. Guru tidak
memperhatikan individual differences
7. Guru menggunakan
“learning by
parts” sampai
tak
ada hubungan

3 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawali Pers, Jakarta, 1987
4 Oemar Hamalik,
Psikologi Belajar dan Mengajar,
Sinar Baru Algensindo, Jakarta,
2000
5 B. Simandjuntak
dan IL. Pasaribu, op cit,
halaman 194
Hal ini terjadi karena (menurut
teori belajar contioning) :
a. Terbentuknya tingkah
laku
sangat sederhana dan mekanistis reflektif
b. Peranan perasaan, kemauan, pikiran, kepribadian tak mengarahkan tingkah laku. Jadi
manusia saja
c. Tak sanggup
menganalisa tingkah
laku yang kompleks
dimana tenaga rohani sebagai
pendorong.
d. Terbentuknya tingkah
laku karena habis formation.
Assosiative
Learning6
Pada hakikatnya perkembangan adalah proses asosiasi bagi para ahli
aliran ini yang primer adalah
bagian-bagian ada lebih dulu sedangkan keseluruhan ada lebih kemudian. Bagian itu terikat satu sama lain menjadi suatu keseluruhan oleh asosiasi.
Salah satu tokoh
aliran
asosisasi adalah
John
Locke.
Locke berpendapat bahwa pada
permulaannya jiwa anak itu
adalah bersih semisal selembar kertas putih. yang kemudian sedikit
demi sedikit terisi oleh pengalaman atau
empiris. Dalam
hal
ini
Locke membedakan adanya dua macam
pengalaman , yaitu:
1. Pengalaman luar, yaitu pengalaman yang diperoleh
dengan melalui panca indera yang menimbulkan “sensation”
2.
Pengalaman dalam, yaitu pengalaman mengenai keadaan dan kegiatan batin sendiri yang menimbulkan “reflexions”. Kesan “sensation dan reflexions” merupakan
pengertian yang sederhana (simple ideas) Yang kemudian dengan asosiasi
membentuk pengertian yang kompleks (Complex ideas).
Aliran asosiasi ini meninggalkan sejarah
, tetapi dalam lapangan pendidikan
masih ada yang
menjalankan, misalnya
mengajar membaca dan menulis secara sintetis, metode menggambar secara sintetis.
Praktik
belajar seperti dalam teori ini
masih digunakan terutama
ditingkat pendidikan dasar dan sekolah
agama atau di pesantren-
pesantren. Murid diberi drill, praktik, pengulangan dan kejadian- kejadian sesuai teori ini. Belajar asosiasi dimana urutan-urutan kata-
kata tertentu berhubungan sedemikian
rupa terhadap obyek-obyek, konsep-konsep, atau situasi sehingga
bila kita menyebut yang satu
cenderung menyebut yang lain. Misalnya
ayah berasosiasi dengan Ibu, kursi dengan
meja.
Jika
digunakan untuk model pembelajaran
sekarang masih relevan
tentu
dengan paradigma baru misalnya
menerangkan dengan mode, gambar dan demostrasi.

6 Sumadi Suryabrata, op. cit, halaman 172
Thorndike berpendapat , bahwa yang menjadi dasar belajar ialah asosiasi antara kesan panca indra (sense impression) dengan impulse
untuk bertindak (impulse to action).
Bentuk belajar oleh Thorndike disifatkan dengan “Trial
and Error learning” atau “learning by selecting and
connecting” . Belajar berlangsung 3 hukum
(1) law of readiness;
(2) law of exercise; (3)
law of effect
Law of effect
ini menunjukkan kepada makin kuat atau makin lemahnya hubungan sebagai akibat daripada hasil respon yang dilakukan . Apabila suatu hubungan atau koneksi disebut dan ditandai atau diikuti oleh keadaan
yang memuaskan
,
maka
kekuatan hubungan
itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu koneksi
dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan,
maka kekuatan hubungan itu akan berkurang.7 Dalam Law of effect,
segala tingkah laku
yang mengakibatkan keadaan yang menyenangkan akan
diingat. Dan tingkah
laku yang menyenangkan
mudah untuk dipelajari begitu pula sebaliknya.
Thorndike berkesimpulan bahwa belajar
adalah hubungan antara stimulus dan
respons. Itulah sebabnya teori
ini disebut SR
Bond Theory atau S-R
Psycology of Learning” atau S-R Theory disebut juga teori “Trial and Error Learning”
Berdasarkan teori belajar tersebut , maka implikasinya bagi dalam pendidikan sebagai berikut :8
1. Tak memperhatikan individual differences.
2. Kadang-kadang
lupa
akan
tujuan
pokok,
karena
terlalu
memperhatikan alat (reward)
3. Biasanya yang
berhasil adalah murid yang struggle untuk menerima hadiah (reward)
Hal ini didasarkan pada
pendapat teori diatas :
1. Manusia belajar
karena
kepuasan untuk memperoleh ganjaran
2. Tingkah laku terbentuk karena
hasil trial & error dan
law of effect
3. Yang dilakukan seseorang disebabkan kesenangan sehingga berlangsung secara otomatis
conditioning.

7 Sumadi Suryabrata, Op Cit, halaman 271
8 B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu,
halaman 197
karena akan
memperoleh reward, lalu kalau reward ditiadakan siswa apakah masih
mau belajar. Segala yang menyenangkan
(law
of
effect) akan diingat oleh siswa dan akan mudah dipelajari oleh siswa,
maka berdasarkan teori ini guru harus mampu menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan. Guru harus mampu membuat pelajaran matematika yang menyeramkan menjadi yang menyenangkan.
*Operant conditioning (Baron.
F. Skinnner; 1904 –1990) :
Reward & Punishment (Positive and
Negative reinforcement)
Sebagaimana tokoh behavour lainnya, Skinner juga memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara
perangsang dan response, hanya saja Skinner membedakan dua macam response
: (1) responden response (reflextive response), yaitu respon yang
ditimbulkan oleh perangsang-perangsang
tertentu, Perangsang demikian disebut
eliciting stimuli, menimbulkan respose yang relatif sama; dan (2) Operant response (instrumental response) yaitu
response yang timbul dan berkembangnya diikuti
oleh perangsang- perangsang tertentu.
Perangsang demikian disebut reinforcing stimuli atau reinforcer karena perangsang-perangsang tersebut
memperkuat response yang telah dilakukan
oleh organisme.
Implikasi dalam dunia pendidikan dari teori ini :
1.
Anak yang telah belajar akan
menjadi giat belajar jika mendapat
hadiah
2. Hadiah yang diberikan kepada siswa tidak harus berupa barang
3. Inovasi Pengajaran sebagian besar disusun
berdasarkan teori Skinner, yaitu memberikan dasar teknologi pendidikan yang
banyak digunakan di Indonesia seperti PPSI, modul
dan
pengajaran tuntas.
Teori ini belajar ini cocok untuk pendidikan modern dengan
menggunakan inovasi-inovasi baru misalnya belajar model konferensi
dengan bantuan komputer yang
saling berhubungan
(internet) sehingga dapat meningkatkan
Operan response siswa
menjadi lebih intensif/kuat. Teori
ini masih berkembang di Amerika, tentu saja untuk Indonesia juga masih sangat cocok.
2. Cognitivism
Pandangan tentang teori
belajar ini meliputi kemampuan atau
mengatur kembali dari susunan
pengetahuan melalui proses kemanusiaan dan penyimpanan informasi. Pendapat
Jean
Piaget
mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah sebagai berikut :9
1. Anak mempunyai struktur
mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, mereka mempunyai
cara yang khas
untuk menyatakan kenyataan dan untuk
menghayati dunia sekitarnya. Maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam
belajar.
2. Perkembangan mental pada anak melalui
tahap-tahap tertentu
menurut suatu urutan yang sama bagi semua orang.
3. Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap
yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak.
4. Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu :
a. kemasakan b. pengalaman
c. interaksi social
d.
equilibration (proses dari ketiga faktor
diatas bersama- sama untuk membangun dan
memperbaiki struktur
mental)
Piaget membagi 4 tingkat perkembangan kemampuan otak untuk
berpikir mengembangkan
pengetahuan (cognitif) :
1. Sensor motor (umur 2
tahun)
2. Pre Oprasional (umur
2-7 tahun)
3. Konkret Oprasional
(umur 7-11 tahun)
4. Format Oprasional
(umur 11 tahun ke atas)
Skema sensor adalah prilaku terbuka yang bersifat jasmaniah yang tersusun secara
sistematis dalam diri bayi/anak yang
merespon lingkungan. Sedangkan
skema kognitif
adalah tatanan tingkah laku untuk
memahami dan menyimpulkan
lingkungan yang direspon.
Ada dua macam
kecakapan kognitif siswa
yang
amat
perlu dikembangkan segera, khususnya
oleh guru, yakni :
1. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran
2.
Strategi meyakini arti
penting isi
materi pelajaran dan aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran

9 Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhinya, Rineka Cipta, Jakarta,
1995
Indonesia untuk pendidikan
setingkat Sekolah Dasar, siswa diarahkan
pada belajar abstrak. Akibatnya
pelajaran tidak membekas di memori anak, justru
saat ini sedang trend diluar jam
pelajaran anak-anak kursus matematika dengan bantuan sempoa. Peralatan ini akan memudahkan anak belajar, dan hasil
pelajaran akan tersimpan lama dalam memori anak. Rupanya ada kesenjangan dalam belajar antara dunia SD
dengan dunia kursus, padahal untuk setingkat SD belajar
konkrit sangat bagus untuk perkembangan kognisi siswa. Untuk itu para praktisi pendidikan perlu juga
menyimak model belajar Dr. Maria
Montessari yang menggunakan metode belajar
konkrit dengan bantuan alat-alat belajar.
3. Constructivism
Teori belajar Kontstruksi merupakan teori-teori yang
menyatakan bahwa siswa itu sendiri
yang harus secara pribadi
menemukan dan menerapkan
informasi kompleks, mengecek
informasi baru dibandingkan dengan
aturan lama dan memperbaiki
aturan itu apabila tidak sesuai lagi.
Konstruktivisme lahir dari gagasan
Jean Piaget dan Vigotsky dimana keduanya
menekankan bahwa perubahan
kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami
diolah
melalui
suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi- informasi baru.
Hakikat dari teori konstruktivism adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi itu miliknya
sendiri. Teori ini memandang siswa
secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan
dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan- aturan tersebut.
Salah satu prinsip paling penting adalah guru tidak dapat
hanya semata-mata memberikan pengetahuan
kepada siswa, siswa harus membangun pengetahuan di
dalam benaknya sendiri., guru hanya
membantu proses ini dengan cara-cara
mengajar yang membuat informasi menjadi
sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa
dengan memberikan kesimpulan kepada siswa untuk menerapkan sendiri ide-ide dan
mengajak siswa agar siswa menyadari dan secara
sadar menggali strategi-strategi
mereka sendiri untuk belajar.
Pendekatan konstruktivism dalama pengajaran
lebih
menekankan pada pengajaran Top-Down
daripada Bottom-Up. Top- Down berarti siswa mulai dengan
masalah-masalah yang kompleks
untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan
(dengan bantuan guru) keterampilan-ketrampilan
dasar yang diperlukan.
Constructivism dibagi tiga yaitu Zone of Proximal Development; Cognitive Apprenticeship;Scaffolding
1. Zone of Proximal Development
atau
zona
perkembangan
terdekat adalah ide bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam
zona perkembangan terdekat mereka.
2.
Cognitive Apprenticeship,
konsep lain yang diturunkan dari
teori Vygotsky menekankan pada dua-duanya
hakikat sosial dari belajar dan zona
perkembangan terdekat adalah pemagangan
kognitif .
3.
Scaffolding atau mediated
learning, akhirnya
teori Vygotsky menekankan bahwa scaffolding atau mediated
learning atau dukungan tahap demi tahap
untuk belajar dan pemecahan masalah sebagai suatu hal
penting
dalam
pemikiran konstruktivism modern.
Prinsip-prinsip
konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan
sains dan matematika. Prinsip-prinsip
yang sering diambil dari konstruktivisme antara lain : (1)
pengetahuan dibangun
oleh siswa secara aktif; (2) tekanan
proses belajar mengajar terletak pada siswa; (3)
mengajar adalah membantu siswa belajar; (4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar; (5) kurikulum menekankan pada partisipasi siswa; (6) guru adalah fasilitator.10 Penulis menyarankan agar konstruktivisme ini digunakan
oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar bentuk yang bisa dilakukan
diantaranya konsep pembelajar mandiri (learner
utonomy ), belajar kelompok (cooperative learning).Guru hanya
sebagai mediator, selanjutnya siswa
secara sendiri-sendiri
maupun kelompok aktiv untu
memecahkan persoalan yang diberikan
guru sehingga mereka dapat membangun pengetahuan.
4.
Social Learning
Teori Belajar Sosial disebut
Teori Observational Learning (Belajar Observasional dengan pengamatan ). Tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan
semata-mata refleks otomatis atas
stimulus (S – R Bond), melainkan juga akibat reaksi
yang
timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan
skema kognitip manusia itu sendiri.
Prinsip
Dasar Social learning :
1. Sebagian besar dari yang dipelajari manusia
terjadi melalui:
peniruan (imitation), penyajian contoh perilaku (modeling).

10 Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme
Dalam Pendidikan,
Kanisius, Yogyakarta, 1997
3.
Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan
cara pengamatan terhadap perilaku
contoh dari orang lain,
misalnya
: guru / orang tuanya.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosal dan moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning
(pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan).
Prosedur-prosedur Social learning :
1 . Conditioning : prosedur belajar
dalam mengembangkan perilaku
social dan moral pada dasarnya sama
dengan prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni
dengan ; Reward (ganjaran /
memberi hadiah/ mengganjar), Punishment (hukuman / memberi
hukuman).
1. Dasar pemikirannya : Sekali seorang siswa mempelajari perbedaan antara perilaku-perilaku yang
menghasilkan ganjaran (reward) dengan perilaku-perilaku yang mengakibatkan hukuman (punishment),
ia senantiasa berpikir dan
memutuskan perilaku social mana yang perlu ia perbuat.
2. Komentar orang tua / guru : ketika mengganjar/menghukum siswa merupakan faktor yang
penting
untuk proses penghayatan siswa
tersebut terhadap moral
standards (patokan-patokan moral ).
3.
Orang tua dan guru diharapkan memberi penjelasan agar siswa tersebut benar-benar
paham
mengenai jenis perilaku
mana yang menghasilkan ganjaran
dan jenis perilaku
mana yang menimbulkan sangsi.
4.
Reaksi-reaksi seorang siswa terhadap
stimulus yang ia pelajari
adalah hasil dari adanya pembiasaan merespons sesuai dengan kebutuhan.
5. Melalui proses pembiasaan merespons (conditioning) ini, menemukan pemahaman bahwa
ia
dapat
menghindari hukuman dengan
memohon maaf yang sebaik-baiknya agar kelak terhindar
dari sanksi.
2. Imitation (peniruan).
Dalam hal ini, orang tua dan guru seyogyanya memainkan peran penting sebagai seorang model /
tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi
siswa. Contoh : Mula-mula seorang siswa mengamati model gurunya
sendiri yang sedang melakukan sebuah sosial,
umpamanya menerima tamu, lalu perbuatan menjawab
salam, berjabat tangan, beramah-tamah, dan seterusnya yang dilakukan model
itu diserap oleh memori siswa tersebut. Diharapkan, cepat/lambat siswa tersebut mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan social yang dicontohkan oleh model itu.
Kualitas kemampuan siswa dalam melakukan perilaku social
hasil pengamatan terhadap model tersebut,
antara lain bergantung pada ketajaman
persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi.
Selain itu, tingkat kualitas imitasi
tersebut juga bergantung pada persepsi siswa “ siapa “ yang menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan berwibawa seorang
model, semakin tinggi pula kualitas imitasi perilaku
social dan moral siswa tersebut.
Jadi
dalam Social Learning,
anak belajar karena contoh
lingkungan. Interaksi antara anak
dengan lingkungan akan menimbulkan
pengalaman baru bagi anak-anak. Sebagai contoh hasil belajar ini adalah
keagresifan anak bukan tidak mungkin disebabkan oleh tayangan kekerasan
dalam film-film laga
di Televisi. Anak-anak SLTP, SLTA cara memakai baju yang ketat,
tidak rapi, gaya bicara
yang prokem
ternyata akibat
nonton
tayangan televisi yang menyajikan sinetron
remaja seperti “Perkawinan
Dini”. Anak-anak
yang konsumerisme/suka jajan ternyata
pengaruh lingkungan yang memberikan contoh konsumerisme. Maka disini perlu peran dari orang tua, dan guru sebagai panutan bagi anak.
Agar kedua tokoh ini dapat memberikan bantuan penyelesaian masalah anak-anak dengan baik.
2.
Thinking
Skills
Ketrampilan berpikir (Thinking skills)
diarahkan uintuk memecahkan masalah,
dapat dilukiskan sebagai upaya mengekplorasi model-model tugas pelajaran di sekolah agar model-model itu menjadi lebih baik dan memuaskan.
Model itu kadang-kadang mendorong para pemikir untuk berpikir lebih jauh berdasarkan informasi perceptual yang mantap yang diperoleh
dari lingkungannya, dan mampu mengantisipasi
hasil-hasilnya tanpa melalui
perlakuan mencoba salah (trial and error).11Ketrampilan berpikir telah menjadi ungkapan yang bersifat umum, mencakup proses belajar dan memecahkan masalah.
Ada 3 klasifikasi dari ketrampilan
berpikir (Sternberg,1989) : Ketrampilan berpikir Kritis yang
terdir (a) menganalisa;
(b)
tinjauan/kupasan; (c)
menilai; (d)
mempertimbangkan; (e)
membandingkan dan
membedakan; (f) menaksir
1. Ketrampilan Berpikir
praktis yang terdiri
: (a) penerapan; (b)
penggunaan dan memanfaatkan; (c) latihan, praktik

11 Cece Wijaya, Pengajaran Remedial,
Rosda Karya, Bandung, 2001
Problim Solving
Problim solving merupakan ketrampilan berpikir untuk memecahkan masalah
yang pelik. Metode yang digunakan
adalah menggunakan metode ilmiah berarti berpikir yang sistematik, logis, teratur dan teliti.
Cara Ilmiah untuk memcahkan masalah dengan langkah-langkah: 12
1. Memahami masalah atau problema
2. Mengumpulkan keterangan atau data
3. Merumuskan hypotesa atau jawaban
yang
mengkin
memberi
penyelesaian
4. Menilai suatu hypotesa
5. Men-test atau
mengadakan eksperimen
6. Membentuk kesimpulan
Ketrampilan berpikir belum
dikembangkan di Indonesia, terutama di sekolah-sekolah, padahal ketrampilan ini besar manfaatnya dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari di rumah, di sekolah, di kantor dan dimasyarakat.
Rendahnya mutu pendidikan
baik di tingkat dasar, menengah maupun tinggi
salah satunya belum dikembangkan
ketrampilan berpikir. Untuk itu
upaya untuk pengembangan SDM hendaknya dimulai di sekolah
dengan cara mengembangkan ketrampilan
berpikir. Siswa sejak dini diajari problem
solving dengan cara berpikir ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah. Guru dan dosen sebagai
ujung tombak keberhasilan pendidikan hendaknya
mempunyai ketrampilan berpikir ini, agar
dapat mengajarkan kepada pelajar/mahapelajar mempunyai
ketrampilan berpikir.
3. Motivation
Motivasi adalah suatu kondisi yang
menyebebkan atau menimbulkan perilaku tertentu, dan memberi arah dan ketahanan (persistence) pada tingkah laku
tersebut (Wlodkowski:1985)
Berdasar rumusan di atas
motif merupakan faktor dinamis,
penyebab seseorang melakukan perbuatan. Suatu perbuatan dapat ditimbulkan oleh sesuatu motif. Namun juga bisa disebabkan oleh
beberapa motif. Dalam belajar,
motivasi punya peranan yang penting. Siswa
tidak akan belajar dalam arti
yang sebenarnya kalau tidak ada
motif.

12 Nasution, Didaktik
Metodik, Bina Aksara, Jakarta, 1981
13 Syaiful Bakri Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, Usaha Nasional, Surabaya, 1994
Penulis dalam melakukan penelitian tentang
“Hubungan motivasi Dengan Prestasi Belajar siswa SMK Negeri 1 Samarinda, Tahun 1999” dapat menyimpulkan
bahwa :
1. Korelasi motivasi
belajar dengan prestasi belajar siswa (r=0,62)
2. Interpretasi r= 0,62 yaitu : tingkat hubungan adalah
“kuat”
3.
Sumbangan relatif motivasi
terhadap prestasi belajar
(r2=0,39
atau 39%), sedang sisanya 61%
dipengaruhi oleh faktor lain.
4. Pada angket motivasi
dibagi dua yaitu motivasi intrinsik
dan
motivasi ekstrinsik, ternyata motivasi intrinsik lebih dominan daripada motivasi ekstrinsik, dengan perbandingan 6:4.
5. Di SMK Negeri 1 ada kelas unggulan
dan kelas biasa, ternyata kelas unggulan motivasinya lebih tinggi daripada kelas biasa. Sebagai guru
sulit rasanya untuk meningkatkan
intelegensia
pelajar maka sebagai seorang motivator, guru hendaknya dapat membangkitkan minat
belajar siswa dengan cara memotivasi siswa. Ada enam hal yang
perlu dilakukan oleh guru :14
1. Membangkitkan
dorongan kepada siswa untuk belajar
2. Menjelaskan secara
konkret kepada siswa apa yang
dapat
dilakukan pada akhir pengajaran
3. Memberikan ganjaran terhadap
prestasi yang dicapai sehingga dapat merangsang untuk mendapat prestasi yang lebih baik dikemudian hari
4. Membetuk kebiasaan belajar yang baik
5. Membantu kesulitan
belajar
siswa
secara
individu
maupun
kelompok
6. Menggunakan metode mengajar yang bervariasi
4. Memory and Forgetting
Ingatan
adalah penarikan kembali informasi
yang pernah diperoleh sebelumnya. Informasi yang pernah
diperoleh sebelumnya dapat disimpan untuk : (1) beberapa
saat saja; (2) beberapa waktu; (3) jangka waktu yang tidak
terbatas.15
Mengingat tidak
sama dengan menghafal, seorang mahasiswa S2
mungkin hafal bahan yang diujikan, sesudah ia lulus ia
tidak ingat lagi bahan itu. Jadi “ingat” selangkah
lebih maju dari menghafal. Bagi beberapa orang dengan menggunakan
“kunci” atau cara
tertentu
dapat memudahkan
mengingat dan menghafalkan.
Menghafal atau memahami bahan
sering
digunakan bersama-sama. Alat Bantu
mengingat, seperti
untuk menentukan besarnya
resistan pada resistor

14 ibid
15 Slameto, op cit
MEJIKU HIBINIU (Merah,
Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, Ungu)
akan lebih mudah diingat daripada tanpa disingkat.
Tehnik belajar bahasa adalah resitasi yaitu pengulangan
terus menerus sehingga bukan hanya hafal akan suatu hal tapi juga meresap dalam diri pribadi
menjadi bagian hidup seseorang. Hampir
80% waktu untuk belajar bahasa pada tahap awal
harus digunakan ini. Ada 3 hal yang
harus dikuasai dalam belajar bahasa asing yaitu: (1)
belajar membaca
dan menerjemahkan dalam bahasa
sendiri;
(2)
dapat menangkap pembicaraan; (3) belajar bercakap-cakap dalam bahasa asing. Jika latihan resitasi dapat dilakukan secara
teratur niscaya ketiga ketrampilan
itu akan dapat dikuasainya.16
Pelajaran hafalan menurut hemat penulis masih perlu
dilakukan terutama untuk tingkat SD. Untuk
siswa yang telah memasuki SLTP
pelajaran hafalan perlu ditinggalkan dan diganti dengan metode
pemahaman. Hanya saja untuk pelajaran bahasa, terutama bahasa asing Teknik resitasi mutlak diperlukan, karena pengualangan- pengulangan terus menerus akan membuat pelajar menjadi hafal.
Kemampuan untuk mengingat yang lebih maju dari pada hafalan, ternyata masih diperlukan bagi para pembelajar dari segala tingkatan, tentu saja guru harus pandai membuat pelajaran agar melekat terus pada ingatan anak, misalnya belajar berhitung dibantu
dengan sempoa, menjelaskan hal yang penting secara
berulang-ulang, membuat “kata kunci” atau dengan alat bantu lainnya untuk membantu siswa untuk mengingat sesuatu.
5. Learner Autonomy
Pembelajar mandiri (learner autonomy) adalah suatu masalah
yang eksplisit atau perhatian
yang serius atau sadar. Kita tidak dapat menerima tanggung jawab pembelajaran kita meskipun kita mempunyai ide apa, bagaimana, kenapa kita berusaha
untuk belajar. Pembelajar harus berinisiatif untuk memberi bentuk arahan untuk
proses belajar dan harus berbagi dalam kemajuan dan evaluasi untuk
mengembangkan sasaran
pembelajar yang dicapai.
Otonomi secara semantik berarti kompleks, Pembelajar mandiri
harus menginterpretasikan kebebasan dari kontrol guru,
kebebasan dari tekanan kurikulum bahkan kebebasan untuk
memilih tidak belajar. Masing-masing
kebebasan ini harus dihadapkan
dan didiskusikan secara bijaksana, tetapi untuk kita yang terpenting adalah kebebasan belajar yang tersirat di dalam
diri sendiri. Yang berarti
kapasitas tersebut dibatasi dengan tujuan yang ingin dicapai.

16 YB. Sudarmanto, Tuntunan Metodologi Belajar, Grassindo, Jakarta,
1992
bahasa Ibu berhasil hanya bila dikembangkan oleh murid sebagai pengguna bahasa tersebut,
sebagai bahasa Ibu. Sama dengan belajar melalui pengalaman membantu
mendefinisikan apa itu pelayanan masyarakat dalam memperkembangkan kapasitasnya sebagai tingkah laku pembelajar mandiri. Kebanyakan guru tergantung latihan-latihan pembelajar
dalam jangkauan yang lebar dari kelakuan pembelajar di luar kelas
yang tergambar dalam
prinsip semua
pembelajar seharusnya mampu di dalam
kelas.
Beberapa kritik diajukan terhadap pembelajar
mandiri ini dengan ide-ide yang
bermacam-macam, seperti bagian dari tradisi budaya barat atau pembelajar bukan barat/aneh.
(Jones, 1995). Argumen
ini dibantah bahwa metode ini digunakan untuk mengembangkan pengetahuan pembelajar mandiri sebagai tradisi pengajaran barat contoh budaya
pendidikan Denmark, Inggris dan Irlandia.
Perkembangan Pembelajar mandiri di Jepang
dielaborasikan secara spesifik dengan tradisi budaya Jepang baik di dalam maupun di luar kelas, diharapkan pengalaman terhadap tantangan
dan pengayaan belajar
adalah didapatkan rasa percaya
diri untuk dibawa pulang
dengan pengertian yang besar mengenai teori dan implikasi praktik pendidikan.17
Belajar mandiri
membuat para
pelajar terbebas dari kelas reguler, membuat belajar sesuai dengan
kemampuan pelajar, dan dapat melayani diri
sendiri
dalam
hal
kebutuhan belajarnya.
Paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia
yang
diberdayakan
adalah salah satu strategi bagi upaya
peningkatan mutu pendidikan. Untuk
itu perlu diupayakan agar belajar mandiri
ini dapat berkembang dengan mendorong
para pelajar untuk belajar
dengan tekun yang datang dari keinginannya sendiri.
Dengan demikian
akan diperoleh generasi yang proaktif, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan kritis. Dengan pembelajar
mandiri maka akan tercipta generasi
bisa bertoleransi, bisa
berdemokrasi, dan berbudi
pekerti, serta menghargai hak-hak orang lain. Maka untuk selanjutnya kita tidak lagi menyebut siswa, student atau pupil
tapi learner atau pelajar bagi anak didik kita.
6. Cooperative Learning

diajarkan tapi juga membantu kawan belajar
se-tim, jadi membuat
sebuah kondisi berprestasi. 18
Ciri-ciri
pembelajaran kooperatif adalah :19
1. Siswa bekerja
dalam
kelompok secara
kooperatif untuk
menuntaskan materi belajarnya
2. Kelompok dibentuk
dari
siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah
3. Bila mungkin anggota kelompok berasal dari ras budaya, suku, jenis kelami berbeda-beda
4. Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu
Langkah-langkah
Model Pembelajaran Kooperative :20
Fase
|
Tingkah Laku Guru
|
Fase
1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Fase
2
Menyajikan
informasi
Fase
3
Mengorganisasikan siswa kedalam ke –
lompok-kelompok belajar
Fase
4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Fase
5
Evaluasi
|
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai
pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa untuk belajar
Guru menyajikan informasi
kepada siswa dengan jalan demostrasi atau lewat bahan bacaan
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk
kelompok belajar dan membantu agar setiap kelompok melakukan transisi secara fisien
Guru membimbing
kelompok-kelompok belajar pada saat mereka
mengerjakan tugas mereka
|
19 Muslimin Ibrahim dkk, Pebelajaran Kooperative, Program Pasca Sarjana Unesa, University
Pers, Surabaya

Fase 6
Memberikan
penghargaan
Guru mengevaluasi hasil
belajar tentang materi yang dipelajari atau masing- masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar
individu dan kelompok

Belajar kelompok yang terdiri 4-6 anak per
kelompok sangat bagus bagi perkembangan
kepribadian anak dan perkembangan
sosialisasi. Pada belajar ini siswa
dapat saling berinteraksi sehingga akan timbul rasa persaudaraan, siswa belajar untuk mengeluarkan
pendapat, ide. Siswa akan bangga
terhadap penguasaan topik tertentu
dan akan memberikan presentasi
kepada teman-temannya, bahkan dalam salah satu strategi
belajar kelompok siswa dapat memperoleh julukan ahli
misalnya ahli empedu, ahli jantung dan sebagainya dalam belajar kelompok.
Sayangnya karena kurikulum
di sekolah yang padat, dan guru
harus menghabiskan materi sesuai
program pengajaran maka banyak
guru yang tidak mau menjalankan, alasan repot, makan waktu dan
memerlukan kerja keras untuk
memperhatikan tiap-tiap kelompok. Biasanya guru hanya membagi
kelompok pelajar untuk berdiskusi tentang suatu topik, tanpa ada bimbingan, misalnya siswa masing- masing berdiskusi, hasil diskusi ditulis
di kertas, hasilnya
dikumpulkan. Guru yang profesional tentu tidak akan melewatkan masa-masa tugasnya dengan menggunakan metode belajar kooperative.
DAFTAR PUSTAKA
Burton, William,
The Guidances of Learning
Activities, Aplleton Century
Crofts,
1952
Cece Wijaya, Pengajaran Remedial, Rosda Karya, Bandung, 2001 http://langue.hyoer.chubu.ac.jp/jalt/pub/t;t/98/nov/lttledam.html http://www.ed.gov/pubs/OR/Consumen Guides/Index.html
Nasution, Didaktik Metodik, Bina
Aksara, Jakarta, 1981
Muslimin Ibrahin
dkk,
Pembelajaran Kooperative, Program Pasca
Sarjana
Unesa, University Pers, Surabaya
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar
dan
Mengajar, Sinar Baru
Algensindo,
Jakarta, 2000
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, 1997
Simanjuntak, B dan Pasaribu
IL,
Psikologi
Perkembangan, Tarsito, Bandung, 1981
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Rineka
Cipta,
Jakarta, 1995
Sumadi
Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawali Pers, Jakarta, 1987
Syaiful Bakri Djamarah, Prestasi Belajar Dan Kompetensi Guru, Usaha
Nasional,
Surabaya, 1994
YB. Sudamanto, Tuntunan Metodologi Belajar, Grassindo,
Jakarta,
1992
Langganan:
Postingan (Atom)